Mancung-mancung Keturunan Arab



Kamu dari Arab? Ini pertanyaan yang sering menghujani telinga saya.
Semasa SMA salah seorang guru pernah berkata, “Kelak jika kamu kuliah di luar daerah, orang-orang akan mengira kamu dari Arab.” Waktu itu saya hanya tersenyum sambil dalam hati berkata, “Padahal Ambon asli.” Semenjak itu, sebagai makhluk yang dikaruniai hidung mancung saya hanya bersyukur. Namun bagi saya mancung itu biasa-biasa saja, toh nafas seseorang juga tidak sama sekali dipengaruhi oleh mancung tidaknya sebuah hidung. 
Semua menjadi tidak biasa sejak saya kuliah di Jogja. Banyak pertanyaan yang muncul hampir setiap saya berkenalan. Di hari pertama kuliah, saya dikira dari Thailand. Saya tidak mengerti bagian mana dari diri saya yang menunjukan saya dari Thailand. Itu baru Thailand. Pernah saya dan kawan-kawan Poros berkunjung ke pers mahasiswa UNY. Saat berkenalan, seorang kawan bertanya, “Mbk, kamu dari Arab?” Sambil tersenyum saya mengibulinya, “Iya, saya campuran Arab dan Ambon.” Sambil mengangguk, dirinya mengatakan, “Tuh kan, pantes. Sudah kuduga.”
Di beberapa kali pertemuan, saya kerap dikira orang Arab. Ada yang lain lagi, siang itu saya keluar dari kampus melewati pos satpam. Karena kendaraan yang lewat sangat banyak, jadi saya harus menunggu beberapa detik di samping jalan depan kampus. Saat menunggu, seorang satpam bertanya pada saya, “Mbak bukan asli Indonesia kan?” “Asli Indonesia pak. Saya dari Ambon,” jawab saya. “Oh, saya kira bukan. Soalnya wajahnya seperti dari India atau Arab,” jawab Pak Satpam lagi. Sambil tersenyum saya pun berlalu.
Semenjak itu, saya sering dihujani pertanyaan-pertanyan yang mirip. Mungkin selain hidung yang mancung, warna kulit coklat tua (tapi sering dibuly hitam) yang saya miliki menunjang orang untuk menduga demikian. Sesekali setelah sampai di kos, saya berdiri depan cermin. Sambil menatap wajah sendiri, dalam hati saya bertanya, “Masa sih saya seperti orang Arab dan India?” Sampai-sampai seorang kawan pernah berkata, “KeAmbonanmu dipertanyakan.” Ini karena jarang ada yang menebak tepat sasaran bahwa saya asli Ambon.
Ibu saya campuran Sulawesi Tenggara (Buton) dan Sulawesi Utara (Manado). Bapak saya menurut cerita dan marga, asli Ambon (Tulehu) dan Buton pula. Jadi dari mana saya bisa dibilang dari Arab? Kalau kakek saya yang pernah ke Arab untuk naik haji, emang iya. Tapi bukan berarti dengan begitu saya langsung mirip orang Arab.
Namun saya tetap yakin saya anak kandung. Karena jelas wajah saya mirip bapak. Sekeluarga juga mancung, kecuali kakak perempuan saya yang tidak begitu mancung (pesek).
Suatu hari, saya mudik ke Masohi (Ibu Kota Kabupaten Maluku Tengah). Di sore harinya saya membaca sebuah tulisan di buku Jurnalisme Sastrawi milik Pantau. Artikel yang berjudul“Koran, Bisnis, dan Perang”yang saya baca menyelipkan sejarah Maluku. Didalamnya bercerita tentang kerusuhan Ambon (Ibu Kota Provinsi Maluku) tahun 1999. Konflik antar agama pun diceritakan. Sampai pada bagaimana agama masuk ke Maluku.
Disitu diceritakan, Islam masuk ke Maluku lewat para saudagar Arab di abad ke-13. Banyak raja di kawasan Maluku yang masuk Islam. Munculah beberapa kerajaan di Maluku, seperti Bacan, Jailolo, Ternate dan Tidore. Memasuki abad ke-16 ajaran Nasrani baru masuk bersamaan dengan masuknya Portugis dan Spanyol. Baru satu abad kemudian Belanda melalui VOC masuk ke Maluku.
Dari artikel tersebut, saya mulai berpikir "Jangan-jangan saya memang keturunan Arab." Kemungkinan besar para saudagar Arab juga menyebarkan Islam di Tulehu. Saya lahir dari keluarga yang beragama Islam. Jika demikian, maka ada kemungkinan saya adalah keturunan dari para saudagar Arab.
Masih di sore itu. Saya semakin penasaran dengan apa yang saya baca. Karena tidak sabar, saya langsung bertanya pada bapak. “Bapa, bapa pung idong paleng mancung. Katong lai bagitu. Barang katong ada keturunan Arab ka bagaimana (dalam bahasa Ambon)? (Bapak, hidung bapak mancung. Kitapun mancung. Memangnya kita ada keturunan Arab?),” tanya saya.
Bapak tidak menjawab iya atau tidak. Saya malah diceritakan sejarah Tulehu. Begini kata bapak, dahulu kakek saya bercerita, ada beberapa orang dari Arab yang hendak datang ke Tulehu. Di tengah perjalanan, mereka membuang adik bungsu mereka ke Laut Merah. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Tulehu. Sesampainya disana, ternyata ayam sudah berkokok (tanda sudah ada kehidupan). Artinya, sang adik yang dibuang ternyata sudah tiba lebih dulu di Tulehu dan menuai kehidupan.
“Untuk apa mereka ke Tulehu?” tanya saya. “Untuk menyiarkan Agama Islam.” Semenjak itu berkembanglah kehidupan dan Agama Islam di Tulehu. Merasa belum puas, saya mulai bertanya tentang silsilah keluarga dan arti marga Tawainella. Menurut cerita bapak, di dalam garis keturunan keluarga dari bapak ada seorang kakek yang bernama La Rumi (La adalah sebutan bagi laki-laki untuk orang Buton, Sulawesi Tenggara). Artinya saya tidak hanya asli Ambon. Kata bapak, marga hanyalah penanda keturunan. Tidak ada makna tertentu. Marga yang dimiliki saya dan orang Tulehu lainnya hanyalah nama dari mereka para leluhur kami (dari Arab) yang hendak memulai kehidupan di tanah Tulehu.
Bapak saya dan keturunan sebelumnya lahir di Tulehu. Hampir semuanya berkulit coklat tua dan berhidung mancung. Jika leluhur saya dari Arab, tidak heran jika saya memiliki ciri-ciri yang mirip (hidung mancung dan berkulit coklat tua).
Setelah mendengar cerita bapak dan membaca sejarah Maluku, saya menemukan titik terang kenapa saya mancung dan berkulit coklat tua. Meski belum jelas bagaimana detail garis keturunan bapak, saya kini tanpa ragu-ragu saya bisa mengatakan, “Iya saya memiliki keturunan Arab, karena leluhur saya adalah orang Arab yang menyiarkan Islam di Maluku.” Ini artinya saya tidak mengibuli seorang kawan waktu itu. Pernyataan bahwa keAmbonan saya dipertanyakan pun terpatahkan dari sisi sejarah (wong sudah jelas, leluhur saya dari Arab). 

Komentar

  1. Wah iya ya emang keliatan arab mbak, saya pun heran soalnya ibu dari bapak saya (nenek) wajahnya juga persis arab, tapi entah knp wajah bapak saya dan saya malah keliatan full jawa hehe

    BalasHapus
  2. Saya melihat kakak justru mengira kakak turunan manado. Karena orang manado mancung2. Justru tidak ada wajah arab di wajah kakak

    BalasHapus
  3. Btw saya juga ngerasain apa yang mbak rasain kok. Ketika kebatakan saya dipertanyakan. Ditambah saya sendiri ga pernah ngomong bahasa batak dan tinggal di kota yang lingkungan yang mayoritas pengguna bahasa indonesia. Saya padahal orang batak mandailing (marga dalimunthe btw), tapi malah dibilang orang arab, pakistan, india, bahkan aceh. 😂
    Dan orang tau saya mandailing kalau saya nyebut marga saya. Pas ditanya apakah di antara keluarga saya ada keturunan arabnya atau enggak, jawabannya enggak.

    Dan kalau hipotesis saya, ada di antara entah dari ibu atau ayah yang keturunan-keturunan sebelumnya itu menikah dengan orang arab. Dan itu ga diketahui oleh ayah maupun ibu. Kan kita gatau garis keturunan yang dari atas2 juga kan?
    Ditambah lagi dari keturunan si kakek dari ibu itu ada alim ulama yang disegani pada zamannya, dan ada makam keluarga juga.

    Teman saya yang memang darah arab saja mengira saya ada keturunan arab juga mengingat dia juga pernah melihat wajah saya dan kami dibilang mirip. 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wih sama saya juga oramg mandailing. Tapi sering disebut orang arabbb, huhuuu

      Hapus
  4. Saya juga keturunan arab -madura dari ayah. Tapi gatau nama marganya. Ya bisa dibilang keluarga ayah ku ini kehilangan identitas. Saya mengatakan ada keturunan arab karna ada org yg blg ke keponakan nya kakekku. Org itu blg kalau kakek²nya terdahulu bukan orang jawa tp org arab asli. Bahkan disegani. Org itu blg gtu krna dia tau kakek² trdahulu. Tp yah gitu. Dah lupa. Dah gk jelas lg . Yaaaa kehilangan identitas dehh.

    Tapi wajah saya ini gak ada arab²nya sama sekali. Malah mirip cewek betawi. Pdhl gk ada darah betawi nya sama sekali dari pihak ayah / ibu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mata di Tanah Melus: Sebuah Kritik Dari Anak-Anak

Nilai